68 Peserta Ruwatan Lolos Dari Cengkeraman Batarakala
Tanpa menghilangkan kesakralan, acara ruwatan massal yang digelar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, berlangsung cukup meriah. Semua acara, dapat dilaksanakan dengan baik, sesuai adat dan tata cara ruwatan pada umumnya. Bahkan, kesakralan itu tampak terasa, saat Sang Dalang Ki Kondo Buwono, melakukan pemotongan rambut sebagai tanda sengkala sudah dibersihkan dari diri peserta ruwatan.
Minggu siang, (5/2), awan hitam menggelantung diatas obyek wisata Kayangan Api, Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, seolah turut menyaksikan acara ruwatan massal yang diadakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro. Selain itu, ratusan pengujung dan aroma sesaji disela-sela jilatan api abadi Kayangan Api juga turut menghiasi kesakralan acara ruwatan massal.
Adat dan budaya Jawa yang adi luhung itu tampak terasa sempurna, begitu peserta ruwatan duduk berjajar diantara gamelan dan pakeliran wayang kulit yang ditata rapi di dalam Pendopo Kayangan Api. Mereka duduk bersila sambil memakai busana adat Jawa, untuk membedakan pengunjung dengan peserta ruwatan. Bahkan, untuk memudahkan Sang Dalang dalam meruwat, panitia memberikan tanda atau nomer urut peserta ruwatan.
Mereka mengikuti ruwatan, karena ingin membersihkan diri dari kesialan dalam mengarungi hidupnya. Sedangkan, menurut adat Jawa, ada beberapa orang yang dilahirkan ke dunia ini hanya membawa sengkolo (kesialan) belaka. Mereka antara lain, ontang-anting (anak tunggal), uger-uger lawang (anak dua laki-kali semua) termasuk Pandawa (anak lima laki-laki semua). Dari beberapa orang yang memiliki ciri-ciri tersebut jika tidak diruwat, konon hidupnya akan selalu sengsara dan akan jadi santapan Batarakala.
Sehingga, begitu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menggelar acara ruwatan massal, banyak masyarakat yang mendaftarkan diri untuk menjadi peserta ruwatan. Sebab, selain biayanya murah, mereka juga diruwat oleh dalang yang sudah berpengalaman dan disaksikan para pejabat Pemkab Bojonegoro. “Jadi saya sangat berterima kasih kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang telah mengelar ruwatan massal dengan biaya murah,” ujar pasangan Nurjoyo Suwito dan Darsini, warga Desa Tulung, Kec. Trucuk, yang meruwatkan anaknya lima laki-laki semua (Pandawa).
Hal yang sama juga diungkapkan keluarga Sutrino dan Rahayu, warga Mojo Kampung, Kecamatan Kota. Menurutnya, dia meruwatkan kedua putrinya bernama Ika dan Eli, yang disebut Kembar Mayang. Keduanya diruwat, setelah salah satu dari mereka habis melakukan operasi tumor. “Oleh tetangga saya, agar sengkolo yang ada pada kedua putri kami hilang, saya disarankan untuk meruwatnya. Muga-muga, habis diruwat ini kedua putri saya dapat hidup tenang dan tidak sakit-sakitan lagi,” kata Sutrisno.
Sementara pasangan Sumarsono dan Sulistiyani, asal Semarang, Jawa Tengah, juga mengikuti ruwatan massal untuk meruwat ketiga anaknya yang disebut Sendang Kapit Pancuran (anak tiga laki-laki, perempuan dan laki-laki). “Kami ikut ruwatan ini karena, saat ada ruwatan di Semarang kami ketinggalan. Karena masih bulan Suro, kami kemudian mendaftarkan anak saya pada Dinas Pariwisata Bojonegoro,” terang Sumarsono.
Sementara itu, dalam menggelar acara ruwatan massal itu, panitia juga menyiapkan sejumlah sesaji, antara lain ; kain tujuh warna, beras kuning, jarum kuning, dan bunga tujuh rupa, sebagai syarat utama untuk melaksanakan ruwatan. Sedangkan, dalam menggelar acara ruwatan massal ini pihak panitia juga mendatangkan dalang khusus dan sudah berpengalaman dalam melakukan ruwatan. Dia adalah Ki Urip Asmo Carito, dari Desa Duyungan, Kecamatan Sukosewu. “Beliau adalah salah seorang dalang yang sudah banyak melakukan tapa brata dan pantas untuk melakukan ruwatan,” ungkap HM. Sudjud, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro.
Sehingga, dalam ruwatan massal tahun ini, lanjut Sudjud, pihaknya sengaja mengundang Ki Urip Asmo Carito, untuk meruwat para perserta ruwatan massal yang berjumlah 68 orang itu. “Acara ruwatan massal ini sudah menjadi agenda tahunan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang terus dilaksanakan sebagai upaya untuk melestarikan budaya Jawa, termasuk untuk menggairahkan industri wisata di Bojonegoro,” jelasnya.
Ditambahkan, acara ruwatan massal ini, telah mendapat dukungan dan tanggapan positif dari masyarakat. “Buktinya, tiap tahun pesertanya selalu bertambah. Bahkan, tahun ini peserta ruwatan massal tidak hanya berasal dari Bojonegoro saja, melainkan ada yang datang dari Tuban, Lamongan, Surabaya dan Semarang, Jawa Tengah,” kata Sudjud, didampingi Kasubag TU Drs. Kasidjo, M.Si.
Pelaksanaan ruwatan massal tahun ini ditandai dengan penyerahan gunungan wayang dari Djindan Muhdin, Asisten III, yang mewakili Bupati HM. Santoso, kepada Ki Urip Asmo Carito. Setelah menerima gunungan, sang dalang langsung menuju pakeliran untuk memulai acara ruwatan dengan menggelar lakon Batarakala. Diceritakan, Batarakala sebagai sosok raksasa yang kelaparan dan ingin makan manusia yang memiliki cirri-ciri khusus, seperti ontang-anting (anak semata wayang), uger-uger lawang (anak dua laki-laki semua) dan lain sebagainya. Mendengar itu Batarakala, langsung turun ke bumi untuk memangsa manusia seperti yang diceritakan ayahnya.
Namun, saat berada di bumi raksasa tadi harus berhadapan dengan dalang Kondo Buwono yang diperankan Ki Urip Asmo Carito. Kepada Batarakala, Ki dalang memperbolehkan Batarakala untuk memangsa manusia yang dimaksud, tapi dengan syarat tidak boleh memakan yang sudah diruwat. Mendengar itu Batarakala tidak jadi memakan manusia, karena sudah diruwat semua oleh Ki dalang Kondo Buwono. (git/wi)
musuhe menungsa uga wis teko, sapa sing ora iso mlayu, siap-siapo mati (musuhnya manusia telah datang, siapa yang tidak bisa lari, maka siap-siaplah untuk mati)
Aku masih saja terdiam di dalam kamar yang sangat pengap. Hanya ada satu lubang seukuran kancing baju, yang menyelipkan sinar matahari yang berlomba-lomba masuk dengan udara yang tidak lagi segar.
Setiap saat, aku mengintip keluar untuk melihat langit biru yang lebih sering hitam tertutup awan. Awan yang selalu mengeluarkan air. Air dengan jumlah yang sangat besar dan membuat orang satu-persatu mati.
Aku justru merasa aman berada di dalam ruangan itu, karena hanya tetetasn air yang aku dapatkan ketika hujan turun dan merendam seluruh sudut kehidupan manusia yang memang tidak seindah yang aku bayangkan dari dalam ruangan itu.
Teriaklah....maka kalian semua akan merasakan bagaimana kepedihan yang kami rasakan. Karena kalian hanya sang penguasa. Penguasa yang tidak akan pernah merasakan apa yang kami rasakan sekarang dan selama ini.
Tidakkah kalian bisa memahami arti sedikit udara yang bisa kami hirup. Itu sangat berarti. Itu sangat berharga. Kami rela menjual harga diri untuk mendapatkannya. Kami rela untuk mengorbankan semua harta benda untuk mendapatkannya, tapi kalian justru dengan ganasnya mengambil semua yang bisa kami ambil dan menyimpannya dalam-dalam dalam penjara baja yang hanya terdapat satu pintu saja.
Oh....ternyata sang BATARAKALA masih berkuasa dan tertawa di atas sana. Yang bisa dia lakukan kan hanya rapat tanpa memikirkan berapa dana yang dikeluarkan, karena mereka memang hanya tinggal menerima saja, tanpa harus berusaha dengan susah payah untuk mendapatkannya.
Lihatlah...keringat kami telah kering. Kulit kami semakin hitam dan tidak lagi halus. Kulit kami sekarang ini sudah sangat kasar. Terseret bersama batu-batu yang tergantung di kedua kaki kami. Kaki yang telah kehilangan tulang dan tidak bisa lagi dipergunakan untuk berjalan.
Sadarkah kalian bahwa kami ini tertindas. Sadarkah kalian bahwa kami ini adalah makhluk Tuhan yang pantas untuk dihormati dan dihargai. Apakah kalian tidak pernah merasakan menjadi seperti kami.
Tunggulah....kalian akan mendapatkan bagiannya....ha....ha....ha...ha....ha....
Labels: jangan diartikan jika memang tidak bisa mengartikan...
BANDUNG -- Ayam itu tergeletak kaku. Badannya hangus tergoreng tanpa kepala. Ayam siap santap itu terbaring pasrah di depan panggung rendah bersama sesajen lain yang dipersatukan dalam sebuah tampah. Malam itu, warga Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat sedang menikmati pentas seni pantun benton. Salah satu syarat pementasan, harus ada sesajen 7 rupa. Ayam itu istimewa bagi kepercayaan setempat, sebab menetas dari telur kedua dari perut induknya.
Di belakang sesajen duduk seorang lelaki tua, usianya sekitar 83 tahun. Namanya Moh. Cholis Widjadja. Malam itu Cholis memakai jas warna krem yang sudah lusuh. Kepalanya dihiasi bendo Sunda yang juga lusuh. Meski lusuh, wajahnya yang penuh guratan usia itu tetap terlihat bersemangat. Saat tampil dalam kesenian pantun beton selama 6 jam tanpa henti, Cholis tampil prima.
Cholis tak sendirian malam itu. Dia ditemani nayaga atau alat musik Sunda. Pada gong ada Maman Karsiman, 53 tahun. Pada bonang ada Jojo Suhardja, 65 tahun, Pada piul (biola) ada Endang, 73 tahun. Sedangkan kendang dipegang Andri, 28 tahun. Selain nayaga, Cholis juga ditemani dua sinden, Dede widaningsih, 48 tahun, dan Nenden Rohaya, 23 tahun.
Pantun beton adalah kesenian yang nyaris punah di tanah Sunda. Beruntung mereka masih dipanggi keluarga Acep Zamzam Noer. Pelukis dan penyair asal Tasikmalaya itu sengaja mengundang kelompok pantun benton "Cahaya Mekar" pada Sabtu (10/5) malam lalu. Tujuannya agar warga sekitar bisa mengingat kembali keberadaan mereka. "Saya ingin memberikan apresiasi kesenian kepada masyarakat," ujar Acep.
Kesenian pantun benton tak ada hubungannya dengan beton cor-coran. Jika dilihat dari pertunjukannya, ia tidak lebih dari sebuah seni mendongeng, mirip pertunjukan wayang golek. Tapi, pantun beton tampil tanpa disertai wayang. Kesenian ini melulu bertumpu pada kepiawaian lisan sang dalang yang ditemani nayaga-nya. Pantun, dalam bahasa Sunda buhun, artinya bercerita dalam bentuk senandung, semacam tembang di Jawa. Sedangkan beton berasal dari bahasa Sunda betun, artinya peralatan musik.
Seperti juga wayang golek, pantun beton dibuka dengan senandung Sunda yang dilantunkan sinden dan sang dalang. Kemudian baru masuk ke dalam cerita. Cerita malam ini, "Spesial," kata dalang Cholis. Dia membawakan kisah "Gajah Putih dan 7 Puteri".
Kisah ini mengangkat pergulatan manusia kerajaan yang penuh lika-liku feodalisme. Raja sangat berkuasa saat itu. Hingga pada suatu hari ada seorang pemuda yang sedang melukis gajah putih sedang dinaiki 7 puteri. Karena lukisan ini dilihat sang raja, si pemuda tadi ditantang raja untuk membuktikan bahwa apa yang dilukisnya memang benar-benar ada. "Jika tidak kamu mati," titah Raja.
Syahdan, si pemuda tadi berkelana ke hutan dan bertemu mahluk gaib. Di sana ia diberi beberapa jimat untuk membuktikan lukisannya tentang gajah putuh dan puteri memang benar adanya. Dasar dongeng, nyawa pemuda selamat lantaran bisa menghadirkan gajah putih dan 7 puteri di hadapan raja.
Selain kisah gajah putih, Cholis juga mengisahkan perjalanan singkat raksasa Batarakala. Ini ada hubungannya dengan sesajen 7 rupa, termasuk ayam goreng dari telur kedua. Kisahnya, Batarakala baru saja menikah dengan seorang puteri. Suatu hari Batarakala ingin dimasakkan sayur kukuk, sejenis umbi-umbian.
Dengan semangat sang isteri tercinta memasakan kukuk. Saat pisau memotong-motong kukuk, tak sengaja beberapa jari isteri yang cantik itu terpotong. Celaka, jarinya masuk ke dalam kumpulan sayur kukuk. Tanpa pikir panjang, sang isteri itu memberikan sayurnya kepada Batarakala.
"Cantik, sayur ini enak sekali. Resep spesial apa dalam sayur ini?," tanya Batarakala.
"Eh, janji Akang tak akan marah?" kata isteri Batarakala.
"Ya. Akang berjanji," jawabnya dengan nada romantis.
Tring! bunyi kecapi dimainkan Cholis dengan cepat. Aneh bin ajaib, Batarakala tidak marah. Ia malah ingin terus makan daging manusia. Kebiasannya itu berlanjut dan berselera aneh-aneh. Ia jadi "phaedophil", doyan menyantap daging anak-anak.
Hingga pada suatu hari ada seorang pangeran yang masih kecil tapi sakti mandraguna. Ketika sang pangeran akan dilahap, mulut Batarakala tiba-tiba panas. Sang pangeran berubah jadi api. "Nah, jangan sekali-sekali makan manusia. Makanlah 7 sesajian yang ada di hadapan saya," kata Cholis bersenandung buhun.
Kisah Batarakala ini termasuk dalam upacara ruwatan. Tanpa disengaja, hari itu adalah usia ke-12 hari bagi anak Acep Zamzam Noor. Karena ada acara pantun beton, anak keempatnya ini lalu diberikan doa ruwatan Batarakala oleh Cholis. "Semoga berguna bagi nusa, bangsa, dan agama," ujar Cholis.
Ruwatan Batarakala, bagi sebagian penganut budaya Sunda buhun, beraroma magis. Malam itu saja, Cholis sempat marah karena sesajen beras dan air bunga masih kurang. "Jika kurang, akan ada yang mendatangi. Seperti acara pantun beton sebelumnya, harimau datang," kisah Cholis.
Memang, ini hanya kepercayaan mereka. Namun, janganlah dianggap remeh. "Untuk menjadi dalang saya tidak main-main. Ada banyak tempat keramat yang harus didatangi. Saya puasa," jelas Cholis. Karena beratnya persyaratan keramat itu, kesenian ini tak ada penerusnya. "Ada yang pernah mencoba, tapi meninggal. Dia tak tahan," ujar Cholis.
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, “air mani” Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahmā dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahmā dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari “tumpek wayang” dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang “sapu leger”.
[sunting] Menurut pewayangan Jawa
Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan "Buto" (bangsa rakshasa). Karena semua perkataannya mandi (bahasa indonesia: cepat menjadi kenyataan) maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar marcapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
1. Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting 2. Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua. 3. Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala
Home arrow Artikel arrow Batara Kala: Cinta Terlarang Batara Guru Batara Kala: Cinta Terlarang Batara Guru Cetak E-mail Oleh Yayat Suryatna Thursday, 29 December 2005 Salahkah jika dewa jatuh cinta dan bercinta? Apa akibatnya jika ia berbuat demikian? Mungkin jika yang jatuh cinta itu Kamajaya dan Ratih masih bisa ditolerir dan akibat yang ditimbulkan pun tidak akan berdampak luar biasa. Namun, bagaimana jika yang jatuh cinta dan kemudian bercinta itu adalah Batara Guru?
Dalam mitologi Timur, Batara Guru memang pernah jatuh cinta, hasrat yang tiba-tiba muncul dapat dapat dikekang. Sang Dewi yang begitu mempesona Batara Guru pun kemudian hamil dan akhirnya lahirnya anak yaitu Batara Kala.
Bagaimana rupa Batara Kala anak Batara Guru, dewa nomor wahid di kahyangan? Digambarkan Batara Kala itu berwujud denawa dan memiliki tugas berbuat kehancuran di muka bumi. Sifatnya itu merupakan pencerminan sifat Batara Guru yang sedang gelap mata karena hatinya tertutup awan nafsu yang berbungkus cinta. Bukankah cinta itu buta dan dalam derajat tertentu bisa membutakan mereka yang terkena panahnya, tidak peduli itu rakyat jelata, presiden, atau dewa sekalipun?
Itulah ringkasan cerita Lahirnya Batara Kala yang dipentaskan Teater Obor Sakti, Bogor di salah satu pusat kesenian tepatnya di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat. Dapat dikatakan pementasan itu sebagai peristiwa yang langka terjadi apalagi yang mementaskan adalah sebuah kelompok teater dari Bogor yang relatif baru. Maklum, seleksi superketat dikenakan terhadap kelompok teater mana saja yang akan tampil di sana. Hal itu dilakukan agar mutu pementasan kelompok yang tampil di sana terjaga.
Meskipun begitu, kelompok teater pimpinan Atang Supriatna ini cukup percaya diri bahwa garapannya memiliki kualitas untuk ditampilkan di Taman Budaya. Dan, itulah yang terjadi ketika pada 10 Desember lalu mereka tampil membawakan lakon Lahirnya Batara Kala. Semula, kelompok ini direncanakan tampil pada 17 Desember berdasarkan jadwal yang disusun Taman Budaya sejak setahun lalu. Itu artinya, rencana pementasan telah berlangsung cukup lama dan memerlukan persiapan matang, bahkan untuk meyakinkan pengelola Taman Budaya agar bersedia menyediakan tempat dan waktu pentas.
Sang Waktu Lahirnya Batara Kala yang berasal dari mitologi Timur merupakan lakon yang bisa saja dimainkan dalam bentuk kesenian tradisional yang lebih populer yaitu wayang. Cerita mengenai dunia kahyangan, juga nukilan dari kisah Ramayana dan Bharatayudha banyak diangkap dalam bentuk cerita untuk pertunjukan wayang, baik wayang golek di Jawa Barat maupun wayang kulit di sebelah timur Jabar. Namun, penggarapan dalam bentuk dramatari memberi eksotika tersendiri yang tidak didapatkan dari pementasan teater boneka.
Sosok Batara Kala yang menakutkan dan menggetarkan makhluk itu tidak serta-merta menjadikannya sebagai musuh. Walaupun kerusakan menjadi ciri khasnya, namun setiap makhluk menganggapnya itu sebagai penyeimbang kehidupan. Rusaknya tatanan kehidupan adalah awal tumbuhnya tananan kehidupan baru yang diharapkan lebih baik. Maka, tidak sedikit pula yang menjadikan Batara Kala sebagai dewa sembahannya.
Kala berarti juga waktu. Kehadirannya dalam kehidupan ini merupakan hakim bagi seluruh makhluk hidup. Tak ada makhluk di muka bumi ini yang dapat melawan kuasa sang waktu. Manusia boleh berupaya namun waktu terus berjalan. Segala sesuatu di muka bumi ini memiliki awal dan akhir. Segala yang hidup akan mati. Segala yang bagus dan indah dan cantik akan mengalami degradasi seiring perjalanan waktu. Semua itu ada dalam dimensi waktu.
Di sini ada kesamaan antara Kala dan waktu. Sama-sama memiliki sifat menghancurkan. Kehancuran bisa berlangsung secara tiba-tiba atau secara mendadak. Ketiadaan bisa dirasakan dalam aktu singkat atau panjang. Itu hanyalah sekadar cara pandang. Intinya, dalam kehidupan ini terjadi perubahan yang terus menerus, terjadi pembaruan atas segala sesuatu yang lama. Jika ingin bertahan dalam jangka panjang, maka perlu perawatan, dan itu berarti kompromi dengan waktu. Sang Kala tetap tidak terkalahkan.
Sebagai perbandingan, dalam khazanah yang lain, tepatnya agama Islam, ada surat yang secara khusus menyebut tentang waktu, yaitu Surat Al-ashr. Demi waktu, bahwa manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali mereka yang beriman dan mengamalkan amal salih, mengingatkan kepada kebenaran dan kesabaran. Maknanya, jika manusia tidak berjalan dalam aturan yang benar, dia berada dalam kehancuran. Dia tidak bisa melawan waktu hanya bersandar pada kekuasaan atau uang. Kekuasaan itu tidak langgeng, demikian pula kekayaan. Mereka yang berkuasa dan melakukan korupsi, ketika sudah tidak memiliki kekuasaan akan dikejar dan dituntut hukuman. Mereka yang memiliki kekayaan dengan jalan melakukan pemerasan terhadap orang lain, pengusaha memeras tenaga buruh dengan upah yang minim, suatu saat akan terkena balasan dan kehancuran. Buruh itu tidak akan berada di belakangnya atau bahkan mereka melakukan aksi unjuk rasa yang mengakibatkan kerugian besar, baik langsung maupun tidak langsung.
Namun, karena episode kali ini adalah pada periode kelahiran dan masa pacaran, koreografer tidak sampai melakukan pendalaman gerak dan cerita pada masa setelah Sang Kala lahir dan berada di tengah-tengah kehidupan. Mudah-mudahan akan ada episode karya baru nanti!
Tradisi-Kontemporer Koreografer tampaknya bukanlah orang yang memiliki kesetiaan, baik pada wacana tradisi maupun kontemporer. Hal itu tampak pada karya terakhirnya ini. Gerak, pola lantai, ilustrasi musik, memadukan unsur tradisi dan kontemporer secara silih berganti. Hal ini dapat berarti banyak hal.
Pertama, koreografer tidak puas dengan perbendaharaan gerak dan musik tradisi sehingga merasa perlu melakukan pencarian gerak dan ilustrasi musik di ranah kontemporer. Meskipun demikian, penting dicatata adalah keinginan koreografer untuk tetap berpijak pada seni tradisi sebagai identitas utama garapannya.
Kedua, Terbuka keinginan untuk beranjak dari seni tradisi yang telah lama ditekuni dan memasuki wilayah kontemporer. Namun, wilayah kontemporer sama sekali tanpa melibatkan radisi akan membuat karya itu tercerabut dari akar budayanya. Itu tampaknya sama sekali tidak diinginkan.
Atas dasar itu, perpaduan antara tradisi dengan kontemporer dianggap yang terbaik. Walaupun sesungguhnya, segala al yang bersifat tradisi itu awalnya adalah konemporer. Tak ada di dunia ini sebuah karya secara tiba-tiba lahir sebagai tradisi atau klasik. Semuanya kontemporer pada zamannya. Setelah melewati waktu cukup lama dan dapat bertahan hidup di tengah terpaan zaman, sebuah kesenian dapat disebut menjadi tradisi atau klasik.
Keberadaan atau penggunaan tiga penari perempuan dengan kostum yang sama dan koreografi yang tidak jauh berbeda dalam pementasan itu cukup membingungkan untuk mengetahui, kepada sosok mana sebenarnya Batara Guru jatuh cinta. Baru pada adegan pertengahan para penari itu menampilkan koreografi yang berbeda antara satu dan lainnya sehinga dapat diketahui, perempuan mana yang merupakan ibu sang Batara Kala. Mudah-mudahan pada pertunjukan lainnya penokohan penari dalam sebuah dramatari (bukan tari yang seragam) akan lebih ketat dan lebih kuat. Karena, penari dalam sebuah dramatari seyogianya menampilkan satu karakter yang berbeda dengan penari lainnya. Mengapa penekanannya pada sang perempuan? Karena dialah yang menjadi sentral aitu dia yang melahirkan. Sang ibu dari Batara Kala.
Humor Ada selentingan yang memiliki nuansa lain dari pertunjukan ini dan jika dicermati akan membuat mulut tersenyum atau bahkan mengatakan, “ Oooo?!” Walaupun sebenarnya selentingan itu tidak perlu dianggap terlalu serius dan cukuplah dipandang sebagai humor agar kita lebih mawas diri. Paling tidak, sekadar menertawai nasib sendiri.
Pementasan yang mengusung lahirnya Batara Kala itu mengetengahkan juga munculnya berbagai bencana dan kesulitan setelah sang Batara lahir. Hal itu terjadi merupakan pengejawantahan sikap dan sifat Batara Guru yang tengah dimabuk cinta dan diliputi hawa nafsu saat jatuh cinta pada Dewi Tan Ana.
Bandingkanlah pementasan itu dengan salah satu nama yang kini menjadi Wakil Presiden RI, Muhammad Jusuf Kalla. Ada persamaan nama kala di belakang kedunya. Cuma, yang satu adalah nyata dan dapat dilihat yang satu lagi ada dalam cerita atau bagi yang percaya memang benar-bnar ada akan tetapi sifatnya gaib. Lantas di mana humornya? Setelah Pak Kalla terpilih menjadi wapres, koq ya ada banyak kesulitan yang melanda Indonesia, mulai dari kecelakaan lalu lintas di jalan tol, tsunami, gempa bumi, impor gula dan beras yang meresahkan petani, hingga kelaparan. Tunggu dulu! Andaikan yang menjadi wapres itu bukan Pak Kalla, apakah bencana tersebut tidak akan terjadi? Suratan takdir tidak dapat dicegah dan diandai-andai bukan? Ini hanya kesamaan pelafalan nama saja. Tapi…? Yayat Suryatna, Program Officer MSPI
Pada awal mulanya di dunia hanya ada Antaboga, yaitu seekor ular yang hidup. Antaboga bermeditasi dan menciptakan Bedwang, yaitu seekor penyu atau kura-kura. Dua ekor ular bertahta di atas penyu itu bersama dengan batu hitam, yang kemudian menjadi atap dunia bawah tanah. Dunia bawah tanah ini diperintah oleh dewi Setesuyara dan dewa Batara Kala, yang menciptakan cahaya dan bumi. Di atas bumi itu terbentang air. Dan di atas bentangan air itu terbentang langit. Semara, yang adalah dewa cinta hidup di langit. Di atas langit itu terbentang langit yang biru pekat (angkasa), ini adalah tempat kediaman matahari dan bulan. Di atas semua itu terbentang kahyangan, yang penuh dengan bunga-bunga dan di sini hidup Tjak (seekor burung berwajah manusia). Di sini juga hidup seekor ular bernama Taksaka dan sekelompok ular yang dikenal sebagai Awan. Mereka terkadang terlihat sebagai bintang jatuh. Para leluhur tinggal di surga yang dipenuhi api di atas kahyangan. Di atas itu semua adalah tempat tinggal dewa-dewi.
9 comments:
68 Peserta Ruwatan Lolos Dari Cengkeraman Batarakala
Tanpa menghilangkan kesakralan, acara ruwatan massal yang digelar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, berlangsung cukup meriah. Semua acara, dapat dilaksanakan dengan baik, sesuai adat dan tata cara ruwatan pada umumnya. Bahkan, kesakralan itu tampak terasa, saat Sang Dalang Ki Kondo Buwono, melakukan pemotongan rambut sebagai tanda sengkala sudah dibersihkan dari diri peserta ruwatan.
Minggu siang, (5/2), awan hitam menggelantung diatas obyek wisata Kayangan Api, Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, seolah turut menyaksikan acara ruwatan massal yang diadakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro. Selain itu, ratusan pengujung dan aroma sesaji disela-sela jilatan api abadi Kayangan Api juga turut menghiasi kesakralan acara ruwatan massal.
Adat dan budaya Jawa yang adi luhung itu tampak terasa sempurna, begitu peserta ruwatan duduk berjajar diantara gamelan dan pakeliran wayang kulit yang ditata rapi di dalam Pendopo Kayangan Api. Mereka duduk bersila sambil memakai busana adat Jawa, untuk membedakan pengunjung dengan peserta ruwatan. Bahkan, untuk memudahkan Sang Dalang dalam meruwat, panitia memberikan tanda atau nomer urut peserta ruwatan.
Mereka mengikuti ruwatan, karena ingin membersihkan diri dari kesialan dalam mengarungi hidupnya. Sedangkan, menurut adat Jawa, ada beberapa orang yang dilahirkan ke dunia ini hanya membawa sengkolo (kesialan) belaka. Mereka antara lain, ontang-anting (anak tunggal), uger-uger lawang (anak dua laki-kali semua) termasuk Pandawa (anak lima laki-laki semua). Dari beberapa orang yang memiliki ciri-ciri tersebut jika tidak diruwat, konon hidupnya akan selalu sengsara dan akan jadi santapan Batarakala.
Sehingga, begitu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menggelar acara ruwatan massal, banyak masyarakat yang mendaftarkan diri untuk menjadi peserta ruwatan. Sebab, selain biayanya murah, mereka juga diruwat oleh dalang yang sudah berpengalaman dan disaksikan para pejabat Pemkab Bojonegoro. “Jadi saya sangat berterima kasih kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang telah mengelar ruwatan massal dengan biaya murah,” ujar pasangan Nurjoyo Suwito dan Darsini, warga Desa Tulung, Kec. Trucuk, yang meruwatkan anaknya lima laki-laki semua (Pandawa).
Hal yang sama juga diungkapkan keluarga Sutrino dan Rahayu, warga Mojo Kampung, Kecamatan Kota. Menurutnya, dia meruwatkan kedua putrinya bernama Ika dan Eli, yang disebut Kembar Mayang. Keduanya diruwat, setelah salah satu dari mereka habis melakukan operasi tumor. “Oleh tetangga saya, agar sengkolo yang ada pada kedua putri kami hilang, saya disarankan untuk meruwatnya. Muga-muga, habis diruwat ini kedua putri saya dapat hidup tenang dan tidak sakit-sakitan lagi,” kata Sutrisno.
Sementara pasangan Sumarsono dan Sulistiyani, asal Semarang, Jawa Tengah, juga mengikuti ruwatan massal untuk meruwat ketiga anaknya yang disebut Sendang Kapit Pancuran (anak tiga laki-laki, perempuan dan laki-laki). “Kami ikut ruwatan ini karena, saat ada ruwatan di Semarang kami ketinggalan. Karena masih bulan Suro, kami kemudian mendaftarkan anak saya pada Dinas Pariwisata Bojonegoro,” terang Sumarsono.
Sementara itu, dalam menggelar acara ruwatan massal itu, panitia juga menyiapkan sejumlah sesaji, antara lain ; kain tujuh warna, beras kuning, jarum kuning, dan bunga tujuh rupa, sebagai syarat utama untuk melaksanakan ruwatan. Sedangkan, dalam menggelar acara ruwatan massal ini pihak panitia juga mendatangkan dalang khusus dan sudah berpengalaman dalam melakukan ruwatan. Dia adalah Ki Urip Asmo Carito, dari Desa Duyungan, Kecamatan Sukosewu. “Beliau adalah salah seorang dalang yang sudah banyak melakukan tapa brata dan pantas untuk melakukan ruwatan,” ungkap HM. Sudjud, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro.
Sehingga, dalam ruwatan massal tahun ini, lanjut Sudjud, pihaknya sengaja mengundang Ki Urip Asmo Carito, untuk meruwat para perserta ruwatan massal yang berjumlah 68 orang itu. “Acara ruwatan massal ini sudah menjadi agenda tahunan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang terus dilaksanakan sebagai upaya untuk melestarikan budaya Jawa, termasuk untuk menggairahkan industri wisata di Bojonegoro,” jelasnya.
Ditambahkan, acara ruwatan massal ini, telah mendapat dukungan dan tanggapan positif dari masyarakat. “Buktinya, tiap tahun pesertanya selalu bertambah. Bahkan, tahun ini peserta ruwatan massal tidak hanya berasal dari Bojonegoro saja, melainkan ada yang datang dari Tuban, Lamongan, Surabaya dan Semarang, Jawa Tengah,” kata Sudjud, didampingi Kasubag TU Drs. Kasidjo, M.Si.
Pelaksanaan ruwatan massal tahun ini ditandai dengan penyerahan gunungan wayang dari Djindan Muhdin, Asisten III, yang mewakili Bupati HM. Santoso, kepada Ki Urip Asmo Carito. Setelah menerima gunungan, sang dalang langsung menuju pakeliran untuk memulai acara ruwatan dengan menggelar lakon Batarakala. Diceritakan, Batarakala sebagai sosok raksasa yang kelaparan dan ingin makan manusia yang memiliki cirri-ciri khusus, seperti ontang-anting (anak semata wayang), uger-uger lawang (anak dua laki-laki semua) dan lain sebagainya. Mendengar itu Batarakala, langsung turun ke bumi untuk memangsa manusia seperti yang diceritakan ayahnya.
Namun, saat berada di bumi raksasa tadi harus berhadapan dengan dalang Kondo Buwono yang diperankan Ki Urip Asmo Carito. Kepada Batarakala, Ki dalang memperbolehkan Batarakala untuk memangsa manusia yang dimaksud, tapi dengan syarat tidak boleh memakan yang sudah diruwat. Mendengar itu Batarakala tidak jadi memakan manusia, karena sudah diruwat semua oleh Ki dalang Kondo Buwono. (git/wi)
sang batarakala telah muncul
Dunia......dunia.....dunia.....dunia....
Hidup...hidup....
Mati...mati....mati....
Sengsara....sengsara.....
Bahagia...bahagia.....
SILAHKAN ANDA MEMILIHNYA....!
musuhe menungsa uga wis teko, sapa sing ora iso mlayu, siap-siapo mati (musuhnya manusia telah datang, siapa yang tidak bisa lari, maka siap-siaplah untuk mati)
Sang Batarakala Masih Tertawa
Aku masih saja terdiam di dalam kamar yang sangat pengap. Hanya ada satu lubang seukuran kancing baju, yang menyelipkan sinar matahari yang berlomba-lomba masuk dengan udara yang tidak lagi segar.
Setiap saat, aku mengintip keluar untuk melihat langit biru yang lebih sering hitam tertutup awan. Awan yang selalu mengeluarkan air. Air dengan jumlah yang sangat besar dan membuat orang satu-persatu mati.
Aku justru merasa aman berada di dalam ruangan itu, karena hanya tetetasn air yang aku dapatkan ketika hujan turun dan merendam seluruh sudut kehidupan manusia yang memang tidak seindah yang aku bayangkan dari dalam ruangan itu.
Teriaklah....maka kalian semua akan merasakan bagaimana kepedihan yang kami rasakan. Karena kalian hanya sang penguasa. Penguasa yang tidak akan pernah merasakan apa yang kami rasakan sekarang dan selama ini.
Tidakkah kalian bisa memahami arti sedikit udara yang bisa kami hirup. Itu sangat berarti. Itu sangat berharga. Kami rela menjual harga diri untuk mendapatkannya. Kami rela untuk mengorbankan semua harta benda untuk mendapatkannya, tapi kalian justru dengan ganasnya mengambil semua yang bisa kami ambil dan menyimpannya dalam-dalam dalam penjara baja yang hanya terdapat satu pintu saja.
Oh....ternyata sang BATARAKALA masih berkuasa dan tertawa di atas sana. Yang bisa dia lakukan kan hanya rapat tanpa memikirkan berapa dana yang dikeluarkan, karena mereka memang hanya tinggal menerima saja, tanpa harus berusaha dengan susah payah untuk mendapatkannya.
Lihatlah...keringat kami telah kering. Kulit kami semakin hitam dan tidak lagi halus. Kulit kami sekarang ini sudah sangat kasar. Terseret bersama batu-batu yang tergantung di kedua kaki kami. Kaki yang telah kehilangan tulang dan tidak bisa lagi dipergunakan untuk berjalan.
Sadarkah kalian bahwa kami ini tertindas. Sadarkah kalian bahwa kami ini adalah makhluk Tuhan yang pantas untuk dihormati dan dihargai. Apakah kalian tidak pernah merasakan menjadi seperti kami.
Tunggulah....kalian akan mendapatkan bagiannya....ha....ha....ha...ha....ha....
Labels: jangan diartikan jika memang tidak bisa mengartikan...
posted by cahndeso @ 2:47 AM
Rabu, 14 Mei 2003
Pantun Beton, Riwayatmu Kini
BANDUNG -- Ayam itu tergeletak kaku. Badannya hangus tergoreng tanpa kepala. Ayam siap santap itu terbaring pasrah di depan panggung rendah bersama sesajen lain yang dipersatukan dalam sebuah tampah. Malam itu, warga Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat sedang menikmati pentas seni pantun benton. Salah satu syarat pementasan, harus ada sesajen 7 rupa. Ayam itu istimewa bagi kepercayaan setempat, sebab menetas dari telur kedua dari perut induknya.
Di belakang sesajen duduk seorang lelaki tua, usianya sekitar 83 tahun. Namanya Moh. Cholis Widjadja. Malam itu Cholis memakai jas warna krem yang sudah lusuh. Kepalanya dihiasi bendo Sunda yang juga lusuh. Meski lusuh, wajahnya yang penuh guratan usia itu tetap terlihat bersemangat. Saat tampil dalam kesenian pantun beton selama 6 jam tanpa henti, Cholis tampil prima.
Cholis tak sendirian malam itu. Dia ditemani nayaga atau alat musik Sunda. Pada gong ada Maman Karsiman, 53 tahun. Pada bonang ada Jojo Suhardja, 65 tahun, Pada piul (biola) ada Endang, 73 tahun. Sedangkan kendang dipegang Andri, 28 tahun. Selain nayaga, Cholis juga ditemani dua sinden, Dede widaningsih, 48 tahun, dan Nenden Rohaya, 23 tahun.
Pantun beton adalah kesenian yang nyaris punah di tanah Sunda. Beruntung mereka masih dipanggi keluarga Acep Zamzam Noer. Pelukis dan penyair asal Tasikmalaya itu sengaja mengundang kelompok pantun benton "Cahaya Mekar" pada Sabtu (10/5) malam lalu. Tujuannya agar warga sekitar bisa mengingat kembali keberadaan mereka. "Saya ingin memberikan apresiasi kesenian kepada masyarakat," ujar Acep.
Kesenian pantun benton tak ada hubungannya dengan beton cor-coran. Jika dilihat dari pertunjukannya, ia tidak lebih dari sebuah seni mendongeng, mirip pertunjukan wayang golek. Tapi, pantun beton tampil tanpa disertai wayang. Kesenian ini melulu bertumpu pada kepiawaian lisan sang dalang yang ditemani nayaga-nya. Pantun, dalam bahasa Sunda buhun, artinya bercerita dalam bentuk senandung, semacam tembang di Jawa. Sedangkan beton berasal dari bahasa Sunda betun, artinya peralatan musik.
Seperti juga wayang golek, pantun beton dibuka dengan senandung Sunda yang dilantunkan sinden dan sang dalang. Kemudian baru masuk ke dalam cerita. Cerita malam ini, "Spesial," kata dalang Cholis. Dia membawakan kisah "Gajah Putih dan 7 Puteri".
Kisah ini mengangkat pergulatan manusia kerajaan yang penuh lika-liku feodalisme. Raja sangat berkuasa saat itu. Hingga pada suatu hari ada seorang pemuda yang sedang melukis gajah putih sedang dinaiki 7 puteri. Karena lukisan ini dilihat sang raja, si pemuda tadi ditantang raja untuk membuktikan bahwa apa yang dilukisnya memang benar-benar ada. "Jika tidak kamu mati," titah Raja.
Syahdan, si pemuda tadi berkelana ke hutan dan bertemu mahluk gaib. Di sana ia diberi beberapa jimat untuk membuktikan lukisannya tentang gajah putuh dan puteri memang benar adanya. Dasar dongeng, nyawa pemuda selamat lantaran bisa menghadirkan gajah putih dan 7 puteri di hadapan raja.
Selain kisah gajah putih, Cholis juga mengisahkan perjalanan singkat raksasa Batarakala. Ini ada hubungannya dengan sesajen 7 rupa, termasuk ayam goreng dari telur kedua. Kisahnya, Batarakala baru saja menikah dengan seorang puteri. Suatu hari Batarakala ingin dimasakkan sayur kukuk, sejenis umbi-umbian.
Dengan semangat sang isteri tercinta memasakan kukuk. Saat pisau memotong-motong kukuk, tak sengaja beberapa jari isteri yang cantik itu terpotong. Celaka, jarinya masuk ke dalam kumpulan sayur kukuk. Tanpa pikir panjang, sang isteri itu memberikan sayurnya kepada Batarakala.
"Cantik, sayur ini enak sekali. Resep spesial apa dalam sayur ini?," tanya Batarakala.
"Eh, janji Akang tak akan marah?" kata isteri Batarakala.
"Ya. Akang berjanji," jawabnya dengan nada romantis.
Tring! bunyi kecapi dimainkan Cholis dengan cepat. Aneh bin ajaib, Batarakala tidak marah. Ia malah ingin terus makan daging manusia. Kebiasannya itu berlanjut dan berselera aneh-aneh. Ia jadi "phaedophil", doyan menyantap daging anak-anak.
Hingga pada suatu hari ada seorang pangeran yang masih kecil tapi sakti mandraguna. Ketika sang pangeran akan dilahap, mulut Batarakala tiba-tiba panas. Sang pangeran berubah jadi api. "Nah, jangan sekali-sekali makan manusia. Makanlah 7 sesajian yang ada di hadapan saya," kata Cholis bersenandung buhun.
Kisah Batarakala ini termasuk dalam upacara ruwatan. Tanpa disengaja, hari itu adalah usia ke-12 hari bagi anak Acep Zamzam Noor. Karena ada acara pantun beton, anak keempatnya ini lalu diberikan doa ruwatan Batarakala oleh Cholis. "Semoga berguna bagi nusa, bangsa, dan agama," ujar Cholis.
Ruwatan Batarakala, bagi sebagian penganut budaya Sunda buhun, beraroma magis. Malam itu saja, Cholis sempat marah karena sesajen beras dan air bunga masih kurang. "Jika kurang, akan ada yang mendatangi. Seperti acara pantun beton sebelumnya, harimau datang," kisah Cholis.
Memang, ini hanya kepercayaan mereka. Namun, janganlah dianggap remeh. "Untuk menjadi dalang saya tidak main-main. Ada banyak tempat keramat yang harus didatangi. Saya puasa," jelas Cholis. Karena beratnya persyaratan keramat itu, kesenian ini tak ada penerusnya. "Ada yang pernah mencoba, tapi meninggal. Dia tak tahan," ujar Cholis.
Kelahiran Batara Kala
[sunting] Menurut lontar Kala Tattwa
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, “air mani” Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahmā dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahmā dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari “tumpek wayang” dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang “sapu leger”.
[sunting] Menurut pewayangan Jawa
Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan "Buto" (bangsa rakshasa). Karena semua perkataannya mandi (bahasa indonesia: cepat menjadi kenyataan) maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar marcapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
1. Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
2. Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
3. Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala
Home arrow Artikel arrow Batara Kala: Cinta Terlarang Batara Guru
Batara Kala: Cinta Terlarang Batara Guru Cetak E-mail
Oleh Yayat Suryatna
Thursday, 29 December 2005
Salahkah jika dewa jatuh cinta dan bercinta? Apa akibatnya jika ia berbuat demikian? Mungkin jika yang jatuh cinta itu Kamajaya dan Ratih masih bisa ditolerir dan akibat yang ditimbulkan pun tidak akan berdampak luar biasa. Namun, bagaimana jika yang jatuh cinta dan kemudian bercinta itu adalah Batara Guru?
Dalam mitologi Timur, Batara Guru memang pernah jatuh cinta, hasrat yang tiba-tiba muncul dapat dapat dikekang. Sang Dewi yang begitu mempesona Batara Guru pun kemudian hamil dan akhirnya lahirnya anak yaitu Batara Kala.
Bagaimana rupa Batara Kala anak Batara Guru, dewa nomor wahid di kahyangan? Digambarkan Batara Kala itu berwujud denawa dan memiliki tugas berbuat kehancuran di muka bumi. Sifatnya itu merupakan pencerminan sifat Batara Guru yang sedang gelap mata karena hatinya tertutup awan nafsu yang berbungkus cinta. Bukankah cinta itu buta dan dalam derajat tertentu bisa membutakan mereka yang terkena panahnya, tidak peduli itu rakyat jelata, presiden, atau dewa sekalipun?
Itulah ringkasan cerita Lahirnya Batara Kala yang dipentaskan Teater Obor Sakti, Bogor di salah satu pusat kesenian tepatnya di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat. Dapat dikatakan pementasan itu sebagai peristiwa yang langka terjadi apalagi yang mementaskan adalah sebuah kelompok teater dari Bogor yang relatif baru. Maklum, seleksi superketat dikenakan terhadap kelompok teater mana saja yang akan tampil di sana. Hal itu dilakukan agar mutu pementasan kelompok yang tampil di sana terjaga.
Meskipun begitu, kelompok teater pimpinan Atang Supriatna ini cukup percaya diri bahwa garapannya memiliki kualitas untuk ditampilkan di Taman Budaya. Dan, itulah yang terjadi ketika pada 10 Desember lalu mereka tampil membawakan lakon Lahirnya Batara Kala. Semula, kelompok ini direncanakan tampil pada 17 Desember berdasarkan jadwal yang disusun Taman Budaya sejak setahun lalu. Itu artinya, rencana pementasan telah berlangsung cukup lama dan memerlukan persiapan matang, bahkan untuk meyakinkan pengelola Taman Budaya agar bersedia menyediakan tempat dan waktu pentas.
Sang Waktu
Lahirnya Batara Kala yang berasal dari mitologi Timur merupakan lakon yang bisa saja dimainkan dalam bentuk kesenian tradisional yang lebih populer yaitu wayang. Cerita mengenai dunia kahyangan, juga nukilan dari kisah Ramayana dan Bharatayudha banyak diangkap dalam bentuk cerita untuk pertunjukan wayang, baik wayang golek di Jawa Barat maupun wayang kulit di sebelah timur Jabar. Namun, penggarapan dalam bentuk dramatari memberi eksotika tersendiri yang tidak didapatkan dari pementasan teater boneka.
Sosok Batara Kala yang menakutkan dan menggetarkan makhluk itu tidak serta-merta menjadikannya sebagai musuh. Walaupun kerusakan menjadi ciri khasnya, namun setiap makhluk menganggapnya itu sebagai penyeimbang kehidupan. Rusaknya tatanan kehidupan adalah awal tumbuhnya tananan kehidupan baru yang diharapkan lebih baik. Maka, tidak sedikit pula yang menjadikan Batara Kala sebagai dewa sembahannya.
Kala berarti juga waktu. Kehadirannya dalam kehidupan ini merupakan hakim bagi seluruh makhluk hidup. Tak ada makhluk di muka bumi ini yang dapat melawan kuasa sang waktu. Manusia boleh berupaya namun waktu terus berjalan. Segala sesuatu di muka bumi ini memiliki awal dan akhir. Segala yang hidup akan mati. Segala yang bagus dan indah dan cantik akan mengalami degradasi seiring perjalanan waktu. Semua itu ada dalam dimensi waktu.
Di sini ada kesamaan antara Kala dan waktu. Sama-sama memiliki sifat menghancurkan. Kehancuran bisa berlangsung secara tiba-tiba atau secara mendadak. Ketiadaan bisa dirasakan dalam aktu singkat atau panjang. Itu hanyalah sekadar cara pandang. Intinya, dalam kehidupan ini terjadi perubahan yang terus menerus, terjadi pembaruan atas segala sesuatu yang lama. Jika ingin bertahan dalam jangka panjang, maka perlu perawatan, dan itu berarti kompromi dengan waktu. Sang Kala tetap tidak terkalahkan.
Sebagai perbandingan, dalam khazanah yang lain, tepatnya agama Islam, ada surat yang secara khusus menyebut tentang waktu, yaitu Surat Al-ashr. Demi waktu, bahwa manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali mereka yang beriman dan mengamalkan amal salih, mengingatkan kepada kebenaran dan kesabaran. Maknanya, jika manusia tidak berjalan dalam aturan yang benar, dia berada dalam kehancuran. Dia tidak bisa melawan waktu hanya bersandar pada kekuasaan atau uang. Kekuasaan itu tidak langgeng, demikian pula kekayaan. Mereka yang berkuasa dan melakukan korupsi, ketika sudah tidak memiliki kekuasaan akan dikejar dan dituntut hukuman. Mereka yang memiliki kekayaan dengan jalan melakukan pemerasan terhadap orang lain, pengusaha memeras tenaga buruh dengan upah yang minim, suatu saat akan terkena balasan dan kehancuran. Buruh itu tidak akan berada di belakangnya atau bahkan mereka melakukan aksi unjuk rasa yang mengakibatkan kerugian besar, baik langsung maupun tidak langsung.
Namun, karena episode kali ini adalah pada periode kelahiran dan masa pacaran, koreografer tidak sampai melakukan pendalaman gerak dan cerita pada masa setelah Sang Kala lahir dan berada di tengah-tengah kehidupan. Mudah-mudahan akan ada episode karya baru nanti!
Tradisi-Kontemporer
Koreografer tampaknya bukanlah orang yang memiliki kesetiaan, baik pada wacana tradisi maupun kontemporer. Hal itu tampak pada karya terakhirnya ini. Gerak, pola lantai, ilustrasi musik, memadukan unsur tradisi dan kontemporer secara silih berganti. Hal ini dapat berarti banyak hal.
Pertama, koreografer tidak puas dengan perbendaharaan gerak dan musik tradisi sehingga merasa perlu melakukan pencarian gerak dan ilustrasi musik di ranah kontemporer. Meskipun demikian, penting dicatata adalah keinginan koreografer untuk tetap berpijak pada seni tradisi sebagai identitas utama garapannya.
Kedua, Terbuka keinginan untuk beranjak dari seni tradisi yang telah lama ditekuni dan memasuki wilayah kontemporer. Namun, wilayah kontemporer sama sekali tanpa melibatkan radisi akan membuat karya itu tercerabut dari akar budayanya. Itu tampaknya sama sekali tidak diinginkan.
Atas dasar itu, perpaduan antara tradisi dengan kontemporer dianggap yang terbaik. Walaupun sesungguhnya, segala al yang bersifat tradisi itu awalnya adalah konemporer. Tak ada di dunia ini sebuah karya secara tiba-tiba lahir sebagai tradisi atau klasik. Semuanya kontemporer pada zamannya. Setelah melewati waktu cukup lama dan dapat bertahan hidup di tengah terpaan zaman, sebuah kesenian dapat disebut menjadi tradisi atau klasik.
Keberadaan atau penggunaan tiga penari perempuan dengan kostum yang sama dan koreografi yang tidak jauh berbeda dalam pementasan itu cukup membingungkan untuk mengetahui, kepada sosok mana sebenarnya Batara Guru jatuh cinta. Baru pada adegan pertengahan para penari itu menampilkan koreografi yang berbeda antara satu dan lainnya sehinga dapat diketahui, perempuan mana yang merupakan ibu sang Batara Kala. Mudah-mudahan pada pertunjukan lainnya penokohan penari dalam sebuah dramatari (bukan tari yang seragam) akan lebih ketat dan lebih kuat. Karena, penari dalam sebuah dramatari seyogianya menampilkan satu karakter yang berbeda dengan penari lainnya. Mengapa penekanannya pada sang perempuan? Karena dialah yang menjadi sentral aitu dia yang melahirkan. Sang ibu dari Batara Kala.
Humor
Ada selentingan yang memiliki nuansa lain dari pertunjukan ini dan jika dicermati akan membuat mulut tersenyum atau bahkan mengatakan, “ Oooo?!” Walaupun sebenarnya selentingan itu tidak perlu dianggap terlalu serius dan cukuplah dipandang sebagai humor agar kita lebih mawas diri. Paling tidak, sekadar menertawai nasib sendiri.
Pementasan yang mengusung lahirnya Batara Kala itu mengetengahkan juga munculnya berbagai bencana dan kesulitan setelah sang Batara lahir. Hal itu terjadi merupakan pengejawantahan sikap dan sifat Batara Guru yang tengah dimabuk cinta dan diliputi hawa nafsu saat jatuh cinta pada Dewi Tan Ana.
Bandingkanlah pementasan itu dengan salah satu nama yang kini menjadi Wakil Presiden RI, Muhammad Jusuf Kalla. Ada persamaan nama kala di belakang kedunya. Cuma, yang satu adalah nyata dan dapat dilihat yang satu lagi ada dalam cerita atau bagi yang percaya memang benar-bnar ada akan tetapi sifatnya gaib. Lantas di mana humornya? Setelah Pak Kalla terpilih menjadi wapres, koq ya ada banyak kesulitan yang melanda Indonesia, mulai dari kecelakaan lalu lintas di jalan tol, tsunami, gempa bumi, impor gula dan beras yang meresahkan petani, hingga kelaparan. Tunggu dulu! Andaikan yang menjadi wapres itu bukan Pak Kalla, apakah bencana tersebut tidak akan terjadi? Suratan takdir tidak dapat dicegah dan diandai-andai bukan? Ini hanya kesamaan pelafalan nama saja. Tapi…?
Yayat Suryatna, Program Officer MSPI
Mitos penciptaan
Pada awal mulanya di dunia hanya ada Antaboga, yaitu seekor ular yang hidup. Antaboga bermeditasi dan menciptakan Bedwang, yaitu seekor penyu atau kura-kura. Dua ekor ular bertahta di atas penyu itu bersama dengan batu hitam, yang kemudian menjadi atap dunia bawah tanah. Dunia bawah tanah ini diperintah oleh dewi Setesuyara dan dewa Batara Kala, yang menciptakan cahaya dan bumi. Di atas bumi itu terbentang air. Dan di atas bentangan air itu terbentang langit. Semara, yang adalah dewa cinta hidup di langit. Di atas langit itu terbentang langit yang biru pekat (angkasa), ini adalah tempat kediaman matahari dan bulan. Di atas semua itu terbentang kahyangan, yang penuh dengan bunga-bunga dan di sini hidup Tjak (seekor burung berwajah manusia). Di sini juga hidup seekor ular bernama Taksaka dan sekelompok ular yang dikenal sebagai Awan. Mereka terkadang terlihat sebagai bintang jatuh. Para leluhur tinggal di surga yang dipenuhi api di atas kahyangan. Di atas itu semua adalah tempat tinggal dewa-dewi.
raw
Post a Comment